Sunday, December 2, 2012

Larangan Wanita Musafir Tanpa Mahram

 Assalamualaikum WBT.
 Isu wanita bermusafir tanpa mahram adalah isu yang sangat dibahaskan oleh ilmuan Islam. Setelah membaca fatwa-fatwa ilmuan Islam, saya membuat kesimpulan:
 1) Boleh Muslimah bermusafir tanpa mahram dengan syarat musafir itu hendaklah sesuatu yang bermanfaat, bukan sekadar melancong dan berjalan-jalan. Manfaat yang dimaksudkan di sini seperti menuntut ilmu, dakwah.
 2) Ia mestilah disertai dengan syarat yang ketat, antaranya:
a) Keselamatan terjaga (jika menaiki kenderaan, hendaklah berkonvoi dengan pihak lelaki, dan bukan dalam satu kenderaan).
b) Jika menaiki kenderaan awam, hendaklah ada lelaki-lelaki yang mereka percayai turut bersama.
c) Hendaklah mereka berada dalam kumpulan Muslimah yang musafir bersama, bukan berseorangan bermusafir.



Larangan Wanita Pergi Tanpa Mahram


Oleh : 'Adi Abdillah As Salafy, Yahya Abdullah, dan Rizaluddin

[ MUSLIMAH Edisi XIX/ Rabi’ul Awwal/ 1418 H/ 1997 M Rubrik Kajian Kali Ini ]

Saudariku Muslimah … . Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“Apa yang dikatakan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr : 7)

Yakni apa yang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam perintahkan kepadamu maka kerjakanlah dan apa yang dilarangnya, jauhilah. Sesungguhnya beliau hanya memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kejelekan.

Ibnu Juraij berkata : “Apa yang datang kepadamu untuk taat kepadaku (Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam) maka kerjakanlah dan apa yang datang kepadamu untuk bermaksiat kepadaku maka jauhilah.”

Pengertian ayat di atas bersifat umum yakni mencakup semua perintah dan larangan, karena beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidaklah memerintahkan kecuali membawa kebaikan dan tidaklah melarangnya kecuali mengandung kerusakan (kebinasaan). (Lihat Al Manhiyat Al ‘Asyr Li An Nisa’ oleh Abi Maryam Majd Fathis Said halaman 7)

Maka dalam rangka mengerjakan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Nabi-Nya, kami akan berusaha menukil beberapa hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan keterangan ulama yang berkaitan dengan judul di atas.

Bisa kita saksikan kenyataan di sekitar kita, semakin banyak kaum Muslimah mengadakan safar tanpa didampingi oleh mahramnya. Amalan semacam ini tak lain hanya akan membawa kebinasaan bagi wanita tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu agama Islam yang hanif memberikan benteng kepada mereka (kaum Muslimah) dalam rangka menjaga dirinya, kehormatannya, dan agamanya.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Janganlah wanita melakukan safar selama 3 hari kecuali bersama mahramnya.” (Hadits shahih, dikeluarkan oleh Bukhari 2/54, Muslim 9/106, Ahmad 3/7, dan Abu Dawud 1727)

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar (bepergian) selama satu hari satu malam yang tidak disertai mahramnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma bahwasanya ia mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahramnya dan janganlah seorang laki-laki masuk menjumpainya kecuali disertai mahramnya.” Kemudian seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah ! Sungguh aku ingin keluar bersama pasukan ini dan itu sedangkan istriku ingin menunaikan haji.” Maka bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Keluarlah bersama istrimu (menunaikan haji).” (Dikeluarkan hadits ini oleh Muslim dan Ahmad)

Komentar Ulama Dalam Masalah Safar Bagi Wanita

Asy Syaikh Abi Maryam menyebutkan dalam bukunya Al Manhiyat Al ‘Asyr li An Nisa’ bahwa hadits-hadits yang menyebutkan tentang batasan safar bagi wanita tanpa mahram berbeda-beda. Ada yang menyebutkan “selama sehari semalam”, ada pula yang menyatakan “tiga hari”, dalam riwayat lain dikatakan “selama tiga malam”, sedangkan dalam riwayat Abu Dawud disebutkan “selama satu barid” yakni perjalanan setengah hari.” Dalam hal ini ulama mengatakan bahwa perbedaan tersebut terjadi karena berbedanya orang yang bertanya dan berbedanya negeri tempat tinggal. Namun demikian tidak berarti bahwa larangan yang gamblang hanya selama 3 hari sedangkan yang kurang dari itu dibolehkan.

Al ‘Allamah Al Baihaqi juga mengomentari hal ini dengan ucapan beliau : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam seolah-olah ditanya tentang wanita yang melakukan safar selama tiga hari tanpa mahram, lalu beliau menjawab tidak boleh dan beliau ditanya tentang perjalanannya (safar) selama dua hari tanpa mahram kemudian beliau menjawab tidak boleh, demikian pula halnya tentang perjalanannya sehari atau setengah hari beliau tetap menjawab tidak boleh. Kemudian setiap dari mereka mengamalkan apa yang didengarnya. Oleh karena itu hadits-hadits yang dibawakan dari satu riwayat dengan lafadh yang berbeda berarti hadits tersebut didengar di beberapa negeri, maka perawinya kadang-kadang meriwayatkan yang ini dan kadang-kadang meriwayatkan yang itu dan semuanya adalah shahih.” (Syarhul Muslim li An Nawawi 9/103)

Imam Ahmad rahimahullah berkata bahwasanya bila wanita tidak mendapati suami atau mahram yang menemaninya, maka tidak wajib baginya menunaikan haji. Ini sesuai dengan perkataan ulama Ahlul Hadits yang sebelumnya, demikian pula perkataan Al Hasan Al Bashri, Ibrahim An Nakha’i, Ishaq bin Rahuyah dan Ats Tsauri.

Imam Al Baghawi mengatakan : “Ulama sepakat bahwa dalam perkara yang bukan wajib tidak dibolehkan bagi wanita melakukan safar kecuali disertai oleh suami atau mahram yang lain, terkecuali wanita kafir yang telah masuk Islam di negeri musuh atau tawanan wanita yang telah berhasil meloloskan diri dari tangan-tangan orang kafir, mau tidak mau ia harus keluar dari lingkup mereka dengan tanpa mahram, walaupun ia seorang diri bila tidak merasa takut.” (Syarhus Sunnah 7/20)

Yang lainnya menambahkan : “Atau wanita yang tertinggal dari rombongannya/tersesat, lalu ditemukan oleh seorang laki-laki yang bukan mahram yang dapat dipercaya, maka boleh bagi laki-laki tadi menemaninya hingga ia mendapatkan rombongannya kembali.” (Syarhus Sunnah 7/21)

Mahram Bagi Wanita

Abu Maryam dalam bukunya Al Manhiyat mengatakan : “Mahram bagi wanita adalah siapa saja yang diharamkan menikah dengannya secara mutlak (selamanya) seperti ayah, saudara laki-laki, keponakan laki-laki, dan yang dihukumi sama dengan mereka melalui susuan, demikian pula suami dari putri-putrinya (menantu) yang telah bercampur dengan mereka (yakni menantu tersebut telah melakukan jima’ dengan putrinya sebagaimana layaknya suami istri). Termasuk dalam hitungan mahram bagi wanita adalah suaminya.” (halaman 68)

Adapun laki-laki yang sewaktu-waktu menjadi halal menikah dengannya seperti budak atau saudara iparnya maka mereka ini tidak termasuk mahram karena tidak dianggap aman terhadapnya dan tidak haram baginya untuk selama-lamanya, maka mereka ini dihukumi seperti orang lain.

Imam Ahmad pernah ditanya : “Apakah anak-anak (laki-laki) bisa dijadikan mahram?” Beliau menjawab : “Tidak, hingga ia mencapai usia baligh karena ia belum dapat mengurus dirinya sendiri maka bagaimana ia dipercaya keluar mengantar seorang wanita. Hal itu karena mahram berfungsi sebagai penjaga bagi wanita tersebut dan ini tidak didapatkan kecuali dari orang yang baligh dan berakal.”

Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi mengomentari pernyataan di atas dengan mengatakan bahwa ucapan yang mengatakan disyaratkannya lelaki yang baligh dan berakal sebagai mahram bagi wanita di dalam safar, alangkah baiknya jika disempurnakan dengan menambahkan syarat berikutnya yaitu memiliki bashirah (ilmu dien), sehingga jadilah syarat itu : Baligh, berakal, dan memiliki bashirah. (Untuk pembahasan lebih lanjut tentang mahram, lihat Salafy Muslimah edisi XIV dalam Rubrik Kajian Kali Ini).

Kenapa Disyaratkan Dengan Mahram

Islam yang hanif ingin menjaga wanita Muslimah dari setiap bahaya yang akan menimpanya dan ingin menjaga kehormatannya dengan berbagai cara dan bermacam-macam wasilah guna memberikan manfaat baginya baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itulah disyaratkan mahram dalam safar bagi wanita Muslimah tersebut. Dan ini adalah perhatian syariat Islam yang lurus kepada kaum wanita dan perkara ini tidaklah membawa mereka kepada jurang kebinasaan atau kesempitan.

Keluarnya wanita sendirian akan memberikan dampak yang negatif bagi kaum laki-laki maupun bagi dirinya sendiri, lebih-lebih bila ia keluar dengan ber-tabarruj, menampakkan perhiasan bukan pada mahramnya. Maka syariat melarang mereka untuk banyak keluar rumah tanpa ‘uzur yang syar’i, memerintahkan kepada mereka untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan agar mereka menjaga dirinya, agamanya, dan kehormatannya dari kehinaan dan kerendahan yang akan menimpanya.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya wanita itu adalah aurat, maka apabila keluar, syaithan akan menghiasinya.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dan At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil jilid I)

Hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di atas merupakan peringatan kepada kaum wanita agar tidak banyak keluar rumah tanpa disertai mahram. Islam melarang mereka agar tidak terjerumus pada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu sebab-sebab yang akan mengantarkan pada perbuatan zina.

Safar Dalam Rangka Menunaikan Ibadah Haji

Jika Anda bertanya : “Apakah dibolehkan bagi wanita melakukan safar dalam rangka menunaikan ibadah haji tanpa disertai mahram?”

Imam At Tirmidzi rahimahullah tekah meringkas sebuah jawaban untuk pertanyaan di atas. Beliau mengatakan bahwa Ahlul ‘Ilmi (ulama) masih memperbincangkan permasalahan ini, sebagian dari mereka berkata : [ Tidak wajib baginya menunaikan ibadah haji karena mahram merupakan persyaratan perjalanan, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“… bagi orang yang sanggup melakukan perjalanan kepadanya … .”

Mereka mengatakan bila wanita tersebut tidak memiliki mahram berarti ia belum sanggup melakukan perjalanan kepadanya. Ini adalah ucapan Sufyan Ats Tsauri dan penduduk Kufah. Sedangkan sebagian Ahlul Ilmi yang lainnya mengatakan : “Bila perjalanan menuju haji dijamin aman, maka ia boleh keluar menunaikan ibadah haji bersama manusia yang lain.” Ini adalah pendapat Malik bin Anas dan Imam Syafi’i. ]

Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi setelah membawakan secara panjang lebar dalil-dalil dari kedua pihak (yang membolehkan dan yang tidak membolehkan) mengatakan : “Setelah melihat dalil-dalil yang ada, tampak padaku bahwa dalil dari mereka yang menyatakan tidak bolehnya adalah lebih kuat karena larangan bagi wanita melakukan safar tanpa mahram adalah bersifat umum tadi, dengan demikian ia termasuk dalam larangan yang umum ini, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda : ‘Apa saja yang aku larang bagi kalian, maka tinggalkanlah.’ Wallahu A’lam.”

Fatwa-Fatwa Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin memberikan fatwa berkaitan dengan hajinya seorang wanita tanpa mahram. Berikut ini jawaban beliau dari beberapa pertanyaan yang dilontarkan :

1. Sebagian wanita pergi melaksanakan umrah tanpa mahram dan kadang-kadang bersama mereka seorang pembantu laki-laki dan pembantu wanita serta sopir. Kami mengharapkan kejelasan perkara tentang safar guna pelaksanaan umrah dan i’tikaf bagi seorang wanita yang tidak disertai mahram. Apakah boleh untuk menjadikan sebagian mereka sebagai mahram pada sebagiannya?

Beliau menjawab : [ Tidak boleh bagi wanita untuk safar tanpa mahram, baik untuk umrah maupun yang lainnya. Karena telah tsabit dalam Shahih Bukhari dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu, ia berkata :

Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tidak boleh seorang laki-laki ber-khalwat dengan wanita lain dan tidak boleh bagi wanita untuk safar kecuali bersama mahramnya.”

Seorang wanita haram pergi sendirian dengan pengemudinya, walaupun masih dalam batasan negerinya. Karena pengemudi itu telah ber-khalwat dengannya dan tidak ada perbedaan antara keadaannya wanita tersebut ketika berkumpul atau tidak berkumpul. Dan sungguh telah datang hadits bahwa seseorang berkata : “Wahai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam! Sungguh istriku ingin keluar untuk haji dan saya telah ditulis untuk ikut perang ini dan itu.” Maka beliau bersabda : “Kembalilah, maka berhajilah bersama istrimu.” (Dikeluarkan oleh Bukhari, bab Jihad, Fathul Bari 6/142-143) ]

2. Apakah boleh bagi wanita untuk safar dengan naik kapal terbang dengan keadaan aman tapi tanpa mahram?

Beliau menjawab : [ Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tidak boleh safar bagi wanita kecuali bersama mahram.”

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengucapkan hadits tersebut ketika memberikan khutbah di atas mimbar dalam pelaksanaan ibadah haji. Maka berdirilah seseorang dan berkata : “Wahai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam! Sungguh istriku keluar untuk haji dan saya telah ditulis untuk ikut perang ini dan itu.” Maka jawab Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Kembalilah, maka berhajilah bersama istrimu.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan padanya untuk meningalkan perang dan melaksanakan haji bersama istrinya dan tidaklah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata :

“Apakah istrimu dalam keadaan aman?”

Atau : “Apakah bersamanya ada wanita lain?”

Atau : “Bersama tetangganya?”

Maka ini menunjukkan keumuman larangan safar bagi wanita tanpa disertai mahram. ]

Wanita Keluar Menuju Pasar

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hafidhahullah pernah ditanya : “Bolehkah seorang wanita keluar menuju pasar tanpa disertai mahramnya dan kapankah yang demikian itu dibolehkan serta kapankah diharamkannya?”

Beliau menjawab : [ Pada dasarnya, keluarnya wanita menuju pasar adalah boleh dan tidak disyaratkan bahwa ia harus disertai mahram kecuali jika dikhawatirkan terjadi fitnah. Dalam keadaan demikian ia tidak diperkenankan keluar kecuali jika disertai mahram yang menjaga dan melindunginya. Hukum bolehnya ia keluar menuju pasar adalah diiringi dengan sebuah syarat yang harus ia penuhi yaitu tidak berhias dan tidak memakai minyak wangi (parfum) karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah melarangnya. ]

Kebolehan wanita keluar ke pasar tak luput diikat dengan syarat-syarat yang ketat, di antaranya hendaklah wanita itu keluar karena kebutuhan yang mendesak, hendaklah menggunakan hijab yang sempurna menurut syariat dan tidak ber-tabarruj, tanpa berhias dan tanpa berminyak wangi.

Wanita Berduaan Bersama Sopir Jika Bepergian, Bolehkah ?

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz ketika ditanya tentang hukum wanita berkendaraan seorang diri hanya ditemani sopir yang membawanya ke tengah kota (belum keluar dalam batas safar). Beliau menjawab : [ Tidak boleh seorang wanita berkendaraan hanya dengan seorang sopir tanpa disertai orang lain yang bersamanya karena yang demikian ini termasuk dalam hukum ber-khalwat (berduaan), padahal Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah bersabda :

“Janganlah berduaan seorang laki-laki dengan seorang wanita kecuali wanita tersebut disertai mahramnya.”

“Janganlah berduaan seorang pria dengan seorang wanita karena syaithan menjadi pihak ketiga dari keduanya.”

Adapun jika ada orang lain beserta keduanya baik seorang ataupun lebih, baik pria ataupun wanita, maka ini tidak mengapa baginya, bila di sana tidak ada sesuatu yang meragukan, karena keadaan khalwat (berduaan) akan hilang dengan sendirinya dengan hadirnya orang yang ketiga atau lebih. Ini dibolehkan selama belum masuk dalam batas safar. Adapun di dalam safar maka tidak boleh seorang wanita melakukan safar kecuali bila disertai mahramnya sebagaimana telah warid dalam sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. ]

Penutup

Saudariku Muslimah …….. .

Wanita keluar rumah tanpa mahram dan tanpa ada kebutuhan yang syar’i merupakan dosa baginya. Lebih baik dan lebih suci bagi wanita untuk tetap tinggal di rumahnya agar kaum laki-laki tidak melihatnya dan wanita itupun tidak melihat padanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman :

“Dan tetaplah kalian (kaum wanita) di rumah-rumah kalian.”

Tidaklah ada perkara yang lebih mendekatkan diri wanita dengan Rabb-nya melebihi bila ia tetap tinggal di rumah dan berusaha menjadi wanita yang diridhai-Nya dengan memperbanyak ibadah kepada-Nya dan taat kepada suaminya.

Ali radhiallahu 'anhu pernah berkata :

“Apakah kamu tidak malu … dan apakah kamu tidak tertipu … , kamu membiarkan wanita keluar di antara kaum laki-laki untuk melihat padanya dan mereka pun (kaum laki-laki) melihat pada kaum wanita tersebut.” (Lihat Al Kabair, Adz Dzahabi halaman 171-172)

Al Iffah (harga diri), rasa malu, dan kelembutan adalah sesuatu yang bernilai tinggi, nilainya tidak dapat ditakar dengan harga dunia beserta seluruh isinya dan ini merupakan kekhususan bagi wanita Muslimah yang tak dimiliki oleh wanita lain. Oleh karena itu Allah dan Rasul-Nya melalui syariat yang agung menetapkan aturan-aturahn yang dapat mempertahankan eksistensi dari kekhususan ini dan semuanya itu diletakkan dengan hikmah yang tinggi.

Kami memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar memperlihatkan kepada kita al haq dan membimbing kita untuk mengikutinya dan memperlihatkan kepada kita al bathil dan membimbing kita untuk menjauhinya. Ya Allah, tuntunlah kami ke jalan-Mu yang lurus. Amin !!!

Maraji’ :

1. Al Manhiyatul ‘Asyr lin Nisa’ oleh Abi Maryam Majd Fathis Said.

2. Al Haribatu ilal Aswaq oleh Asy Syaikh ‘Abdul Malik Al Qasim.

3. As’ilah Muhimmah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin.

4. Jami’ Ahkamun Nisa’ oleh Asy Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi.

5. Massuliyyah Al Mar’ah Al Muslimah oleh Asy Syaikh ‘Abdullah bin Jarullah.

6. Majmu’ah Durus Fatawa (Harami Makki) oleh Asy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz.


Perempuan Yang Mengerja Haji Tanpa Muhrim
Dr Yusuf Qardhawi
Fatwa Muasyirah

Soalan:

Allah telah mewajibkan fardu haji ke atas kaum wanita yang sihat tubuh badan, mempunyai harta yang banyak dan mencukupi untuk mengerjakan haji.

Tetapi sekiranya dia tidak bersuami atau tiada muhrim bersamanya untuk mengerjakan haji, bolehkah dia mengerjakan haji bersama-sama kumpulan kaum muslimin atau wanita-wanita Islam dalam keadaan aman perjalanannya dan tiada apa-apa bahaya?

Atau apakah dia mesti menangguhkan hajinya sehingga ada muhrim yang boleh menemaninya mengerjakan haji?

Jawapan:

Hukum yang asal di dalam syarat Islam ialah seseorang wanita itu tidak boleh bermusafir seorang diri, bahkan wajib ditemani oleh suaminya atau ada muhrim bersamanya.

Hukum ini bersandarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari daripada Ibnu Abbas r.a. bahawa

Rasulullah (s.a.w) bersabda yang bermaksud:

"Wanita tidak boleh bermusafir melainkan ditemani oleh muhrimnya; tidak boleh bersama lelaki lain melainkan ada muhrim bersamanya".

Sebuah hadith marfu' daripada Abu Hurairah pula bermaksud:

"Haram bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat bermusafir satu hari satu malam dalam keadaan tidak ada muhrim bersamanya". (Bukhari dan Muslim)

Daripada Abi Said, bahawa Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud:

"Haram bagi wanita bermusafir selama dua hari tanpa ditemani oleh suami atau muhrimnya".(Bukhari dan Muslim)

Sebuah hadis lain daripada Ibnu Umar bermaksud:

"Janganlah kamu (wanita) bermusafir selama tiga malam tanpa ditemani oleh muhrim". (Mutaffaq alaihi)

Yang nyatanya, berlainan riwayat adalah kerana berlainannya orang-orang yang bertanya dan soalan-soalan mereka. Jawapan yang diberi adalah berdasarkan pertanyaan-pertanyaan ini.

Tetapi Abu Hanifah menguatkan hadith Ibnu Umar yang terakhir, yang berpendapat tidak perlu ada muhrim kecuali untuk perjalanan yang membolehkan sembahyang qasar. Hadith ini diriwayatkan daripada Ahmad.

Hadith-hadith ini merangkumi semua aspek, sama ada musafir yang wajib atau musafir kerana berziarah, berniaga, menuntut ilmu dan sebagainya.

Asas-asas hukum ini bukanlah kerana kita menaruh prasangka yang buruk terhadap wanita dan moralnya sebagaimana yang disyaki oleh sesetengah orang, tetapi ia bertujuan untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan wanita, iaitu menjaga mereka daripada orang-orang jahat (yang mempunyai penyakit dalam hatinya), binatang-binatang buas seperti anjing dan serigala, penyamun-penyamun, terutamanya dalam suasana sunyi padang pasir yang menggerunkan atau pun tempat yang tidak aman yang masih belum ada pembangunan.

Tetapi apakah hukumnya apabila wanita itu sememangnya tiada muhrim untuk menemaninya dalam perjalanan yang disyarakkan? Apakah ia wajib, sunat atau harus?

Para fuqaha telah berbincang tentang masalah ini untuk menentukan kewajipan wanita menunaikan haji sedangkah hadith Rasulullah (s.a.w) melarang wanita bermusafir tanpa muhrim.

1. Sebahagian daripada mereka berpegang dengan zahir hadith yang telah disebut bahawa haram bermusafir tanpa muhrim sekalipun musafir untuk menunaikan haji yang difardukan, dan tidak ada pengecualian di dalam masalah ini.

2. Sebahagiannya pula mengecualikan wanita tua yang sudah tiada syahwat (nafsu), sebagaimana pendapat Al-Qadi Abi Al- Walid Al-Yaji yang bermazhab Maliki. Pendapat ini disokong oleh Ibnu Daqiq Al-'Id, asalkan mereka (wanita tua) menjaga syarat-syarat yang menjadi kebiasaannya bagi wanita.

3. Ada juga yang berpendapat memadai dengan aman di tengah jalan. Pendapat ini disokong oleh Ibnu Muflih yang menyebut di dalam bukunya Al-Furu': ' Wanita yang aman boleh menunaikan haji tanpa muhrim. Ini dikhususkan bagi musafir yang wajib.” Pendapat ini diambil oleh Al-Karabisi daripada Imam Syafii di dalam bab Haji Sunat.

4: Sebahagian ulama mengatakan, boleh juga pada perjalanan yang tidak wajib seperti berziarah atau bemiaga.

Athram mengambil pendapat daripada Imam Ahmad bahawa tidak disyaratkan ada muhrim pada musafir yang wajib.

Beliau berhujah dengan mengatakan: "Kerana dia keluar bersama beberapa orang wanita dan keadaannya aman".

Bahkan Ibnu Sirin mengatakan: "Tidak mengapa bersama seorang lelaki muslim'".

Al-Auzai' mengatakan: "Boleh juga bersama-sama satu golongan yang adil".

Imam Malik mengatakan: "Boleh bersama sekumpulan wanita".

Imam Syafii pula mengatakan: "Boleh juga bersama wanita Islam yang merdeka dan boleh dipercayai".

Sesetengah sahabat mengatakan: "Boleh pergi seorang diri sekiranya aman perjalanannya".

Al-Hafiz Ibnu Hajar mengatakan: "Yang masyhur di sisi mazhab Syafii ialah syaratnya ada suami atau muhrim atau sekumpulan wanita yang boleh dipercayai".

Ada pendapat lain yang diambil oleh Al-Karabisi dan disahkan di dalam buku Al-Muhazzab, iaitu wanita tersebut boleh bermusafir seorang diri jika aman perjalananya.

Ini kerana tujuannya ialah untuk menjaga wanita, iaitu dengan memastikan perjalanan yang aman serta adanya wanita dan lelaki yang boleh dipercayai.

Dalil menunjukkan wanita harus bermusafir dalam keadaan begini ialah:

Pertama:

Di riwayatkan oleh Imam Bukhari dalam sahihnya bahawa Umar r.a telah mengizinkan isteri-isteri Nabi s.a.w mengerjakan haji mereka yang terakhir. Umar menghantar bersama mereka Othman bin Affan dan Abdul Rahman, Umar, Othman, Abdul Rahman dan isteri-isteri Rasulullah (s.a.w)
bersepakat mengatakan boleh bagi wanita mencerjakan haji tanpa muhrim, dan tiada sahabat yang menolak pendapat ini.

Kedua:

Hadith yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim daripada Adi bin Hatim menyebutkan bahawa Nabi (s.a.w) telah membicarakan tentang masa depan Islam, perkembangannya dan bagaimana meninggikan jalan petunjuk di bumi ini.

Baginda bersabda maksudnya:

‘Wanita yang berada di atas belakang unta (sekedup) dari Hirah (Iraq), yang mengetahui rumah tangganya kerana tiada suami bersamanya, tidak takut kecuali kepada Allah".

Hadith ini bukan sahaja menunjukkan perkara itu berlaku begitu sahaja, tetapi juga untuk menceritakan keistimewaan mereka yang bernaung di bawah panji-panji Islam.

Bagaimanapun hendaklah kita ketahui bahawa musafir di zaman kita sekarang tidak seperti musafir di zaman dahulu yang dikelilingi oleh bahaya, seperti melintasi padang pasir yang tandus, terdedah kepada pencuri, penyamun dan lain-lain.

Perjalanan sekarang pada kebiasaanya menggunakan kenderaan yang membawa ramai penumpang seperti kapal laut, kapal terbang, kereta besar atau kecil yang keluar secara berkelompok.

Syarat boleh dipercayai itu sudah mencukupi dan dapat menolak perasaan takut pada perempuan itu kerana dia tidak berseorangan.

Oleh itu tidak berdosa jika wanita itu keluar menunaikan ibadat haji apabila cukup syarat-syaratnya sebagaimana yang dituntut oleh Islam.


A Woman Traveling Without a Chaperone| Shaikh Sâmî al-Mâjid|

The Islamic legal rulings that pertain to the daily affairs of life are always connected to the welfare of the people in their individual lives and in their relationships with each other. Such rulings, therefore, have causes that can be grasped by reason and understood in a clear and precise manner.

These rulings differ from those that pertain to acts of worship, since acts of worship are connected to the benefits of the Hereafter and our direct relationship with Allah. Such matters are generally not discernable to the human intellect. Many great scholars have tried to determine the wisdom behind why we do certain things in prayer and in pilgrimage - and quite often they have failed and said: "This is purely a matter that we must accept on faith. Allah knows best about it."

The ruling that a woman may not travel without her husband or a male escort from her immediate family (a mahram) falls under the first category of rulings. We can appreciate the reason for the prohibition. When we understand that the reason for this prohibition is the fear for her sanctity and honor and the fear that she might be taken advantage of or raped, then we know that the issue is one that needs to be weighed in light of the benefits and harm present in a given situation.

Therefore, we have the opinion in Islamic Law that it is permissible for a woman to travel without a mahram when she is reasonably assured of her safety or when traveling poses no more danger for her than staying at home. The latter situation is often the case in non-Muslim countries where walking down her own street can be more dangerous for her and full of temptation that sitting on board an airplane. The environment of an airplane is quite often safer and more wholesome than that of the neighborhood in which she lives.

From this point of departure, we shall present the evidence and juristic reasoning of the people of knowledge:

`Adî b. Hâtim relates that Allah's Messenger (peace be upon him) said to him: "O `Adî, have you seen al-Hîrah (a region in Iraq)."

`Adî replied: "I have not seen it, but I have heard of it."

Allah's Messenger (peace be upon him) said: "If you live long enough, you will see a woman departing by camel in a litter and traveling until she reaches the Ka`bah without fearing anyone but Allah."

`Adî informs us that he thought to himself: "Where are the robbers and bandits who run rampant through the land?" Then `Adî says: "I have seen a woman travel by camel litter from al-Hirâh to the Ka`bah fearing no one but Allah." [Sahîh al-Bukhârî]

This hadîth shows us that it is permissible for a woman to travel unescorted if the road is safe. Someone might argue that the statement of the Prophet (peace be upon him) is merely reporting that such a thing would one day take place, not that it is permissible. However, this argument is weak. This statement is made in a context of praising Islam and showing its future ascendancy. Therefore, it must be assumed that what is being used to indicate such praise is permissible in and of itself. Moreover, `Adî b. Hâtim saw this woman and did not condemn her action, nor did anyone else.

Al-Bâjî, in al-Muntaqâ, writes: "Perhaps what some of our scholars have said (regarding prohibition) refers only to cases where the woman is alone or with a small group. As for the great caravans and the secure major thoroughfares, they are to me no different than the places of residence that are filled with markets and merchants. In such cases, her safety is secured without the presence of a mahram or female companions. This opinion has been related to us from al-Awzâ`î."

Qâdî `Iyâd, when discussing the prohibition of a woman traveling without a mahram to escort her, says: "This refers only for a young woman. As for an older woman who is less enticing, she can travel anywhere she wants without her husband or a mahram. Ibn Daqîq al-`Id: considers this a specification of a general ruling in consideration of the meaning behind it."

The great jurists Mâlik and al`Awzâ'î - and also al-Shâfi`î in his more prevalent opinion - rule that a mahram escort is not a condition for a woman to make her obligatory pilgrimage. The only condition is that she will be safe on the journey. Al-Shâfî'î says: "Safety can be achieved by her being chaperoned by her husband or her mahram, or by the company of other trustworthy women."

Some scholars have said that if it is safe enough, she needs no one to accompany her. She can travel alone along with the caravans and be safe. This is indicated by the hadîth of `Adî that we mentioned earlier.

Permissibility is even more certain when a woman cannot find a mahram and her best interests are to be secured by her traveling. Permissibility is indisputable in cases where travel becomes a necessity for her, on account of the principle in Islamic Law that necessity makes unlawful things permissible. This is why the scholars have permitted a woman to travel unescorted to emigrate from a non-Muslim country to a Muslim one. In some situations, they even declare such a journey to be obligatory upon her.
And Allah knows best. And may the peace and blessings be upon our Prophet Muhammad.
source: islamtoday.com

1 comment:

  1. Salam, mcm mane kalau muslimah keluar bekerja tanpa mahram, dan dikelilingi ramai pekerja lelaki?

    ReplyDelete